
Bagi
Hendarto Wibowo, pengusaha berusia 40 tahun, unsur klenik merupakan
hal yang dapat diandalkan menuju kesuksesan hidup. Untuk mengelola
bisnis pariwisata dan perhotelan yang dimilikinya, sudah puluhan tahun
ini Hendarto menggunakan jasa paranormal. Tak dinyana, paranormal
pribadinya justru menikmati sensasi seksual bersama istrinya.
Siang itu Hendarto membawa mbah Bromo,
paranormal berusia 60 tahun, untuk membersihkan rumahnya dari
kemungkinan gangguan pesaing bisnisnya.
Sudah tiga tahun ini ritual bersih
rumah dilakukan Mbah Bromo tiap enam bulan sekali di rumah Hendarto.
Prosesinya antara lain memercik air bunga ke tiap sudut ruangan di
dalam rumah Hendarto. Biasanya dilakukan sejak siang hari hingga
menjelang malam.
“Maaf mbah mungkin kali ini saya tidak
bisa mengikuti ritual ini sampai selesai, karena saya harus keluar
kota untuk kepentingan perusahaan. Tapi istri saya akan tetap di sini
membantu mbah sampai ritual selesai,” kata Hendarto di tengah jalannya
prosesi ritual.
“Oh begitu. Ya ndak apa pak Hen,
ditinggal saja biar saya selesaikan tugas saya. Lagi pula pembersihan
di ruang tamu dan kamar kerja pak Hen sudah selesai, nanti biar di
ruangan lainnya saya teruskan sendiri. Ndak usah suruh nyonya
membantu, biar saya kerjakan sendiri,” kata mbah Bromo.
“Eh.. jangan mbah, biar istri saya membantu ya,” kata Hendarto lagi. Ia kemudian memanggil Irma, istrinya di ruang keluarga.
Irma berusia 30 tahun, berwajah ayu,
kulit putih, dan tubuhnya sintal. Selama melakukan ritual di rumah
Hendarto, mbah Bromo memang belum perah melihat Irma dan dua anak
Hendarto. Setiap ritual dilakukan rumah memang harus dalam keadaan
kosong penghuni, kecuali satu orang anggota keluarga yang mendampingi
mbah Bromo. Biasanya Hendarto menitipkan istri dan anaknya ke rumah
mertuanya.
“Ini kenalkan mbah.. ini Irma istri
saya. Mama, kenalkan ini mbah Bromo yang pernah papa ceritakan,” kata
Hendarto begitu Irma tiba di ruang tamu. Keduanya langsung berjabatan
tangan dan berkenalan.
“Iya mbah.. suami saya harus ke lar
kota sekarang, jadi biar ritual pembesihan rumahnya saya yang gantikan
untuk membantu mbah. Si mbok dan anak-anak sudah saya bawa ke rumah
opa-omanya,” kata Irma.
“Waduh.. sebenarnya bu Irma ndak usah
repot ndak apa.. saya bisa selesaikan sendiri. Tapi lebih baguslah
kalau bu Irma mau membantu,” kata mbah Bromo.
Mbah Bromo lalu menjelaskan apa saja
yang harus dilakukan Irma, antara lain memegang baskom berisi air
bunga tujuh rupa dan selalu berada di samping mbah Bromo saat ritual
dilakukan di tiap ruangan, untuk memudahkan mbah Bromo memercikan air
ke ruangan karena baskom tidak boleh diletakkan di lantai atau media
apapun.
“Maaf mbah, saya potong.. saya harus
berangkat sekarang. Mama, papa jalan ya,” kata Hendarto lalu pergi
meninggalkan mbah Bromo dan Irma di rumah.
Irma manggut-manggut mendengarkan
penjelasan mbah Bromo. Meski pekerjaan itu mudah dan bisa dilakukan
pembantu , tetapi karena harus anggota keluarga Irma bersedia
melakukannya demi kesuksesan suaminya.
“Ruangan tamu ini sudah saya
bersihkan, sekarang kita ke ruang keluarga bu Irma,” mbah Bromo
berjalan menuju ruang keluarga, Irma membawa baskom air bunga
membuntutinya.
Mbah Bromo meminta Irma duduk di sofa
keluarga pada posisi duduk seperti biasanya saat menonton televisi
bersama keluarga. Irma mengikuti lalu duduk di pojok kanan dengan
kedua tangan tetap memegangi baskom.
Mulut mbah Bromo komat-kamit membaca
mantra dengan mata terpejam, lalu kedua tangannya dimasukkan dalam
baskom yang dibawa Irma, dan mulai memercikkan air ke ruang itu
berkeliling dari sudut ke sudut.
Setelah selesai, ritual kemudian
pindah ke kamar tidur utama, kamar tidur Hendarto dan Irma di lantai
dua. Mbah Bromo kembali meminta Irma tidur di ranjang pada posisi
seperti biasanya, dan Irma menuruti, berbaring dengan tetap memegang
baskom air bunga di atas perutnya.
“Oh.. maaf bu Irma.. saya lupa memberi
tahu. Kalau bisa busananya juga harus diganti dengan baju tidur yag
biasa dipakai sehari-hari di kamar tidur ini,” kata mbah Bromo.
Irma sedikit terkejut mendengarnya
sebab Hendarto tidak pernah bercerita tentang itu. Tapi akhirnya ia
menurut juga. Mbah Bromo keluar ruangan membiarkan Irma bersalin
pakaian.
“Sudah mbah.. silahkan diteruskan,”
Irma mengenakan daster tipis merah muda yang biasa dipakai saat tidur.
Ia merasa agak risih juga ketika mbah Bromo masuk ke kamar, karena
kebiasaan setiap tidur Irma tak pernah menggunakan pakaian dalam, CD
dan Bra.
Mbah Bromo menangkap kerisihan Irma, apalagi daster tipis membuat putting susu Irma membekas jelas.
“Ndak usah risih bu Irma.. ini demi ritual. Bu Irma memang cantik dan sexy, tapi mbah kan
sudah tua, sudah ndak bisa bangun.., jadi ndak mungkin berbuat
macam-macam,” kata mbah Bromo tersenyum. Irma kemudian berbaring seperti
semula dan mbah Bromo melanjutkan ritualnya.
Kata-kata mbah Bromo membuat Irma
lega, sebab sesuatu bisa saja keluar dari rencana bila seorang wanita
seperti Irma berada sekamar dengan pria lain yang normal.
Tapi.. apa iya mbah Bromo sudah nggak
bisa bangun?. Pertanyaan itu justru berkeliaran di benak Irma. Ia
memandangi sosok mbah Bromo yang masih berdiri merapal mantra-mantra
membelakanginya.
Usia mbah Bromo memang sudah tua,
rambut, kumis dan jenggotnya sudah memutih sebagian. Tapi fisiknya
masih kelihatan sangat bugar. Tingginya sekitar 180 cm, lebih tinggi
dari Hendarto. Irma pun hanya sebatas dagunya kalau berdiri
berdampingan.
Tubuh mbah Bromo juga nampak kekar
dilapisi kulit hitam legam. Saat tangan mbah Bromo membasuh di baskom,
Irma bisa melihat jemari-jemarinya yang kekar dengan buku-buku jari
yang besar-besar.
Apa iya mbah Bromo sudah impoten,
seperti katanya barusan? Lagi-lagi pertanyaan itu mengecamuk di bathin
Irma. Diam-diam ia membayangkan bagaimana perkasanya mbah Bromo saat
masih muda.
“Bu Irma sudah selesai bu..,” mbah Bromo mencolek bahu Irma yang melamun.
“Oh.. eh.. iya mbah.. sudah ya?,” Irma malu sendiri karena ketahuan sedang melamun.
“Ibu kenapa? Kok sepertinya ada yang dipikirkan?,” tanya mbah Bromo menatap Irma.
“Eh.. nggak mbah. Ah anu.. saya
tiba-tiba kepikiran tentang mimpi-mimpi serem yang sering saya alami
belakangan ini. Apa bisa mbah mengusirnya?,” Irma sembarang celetuk
mengarang cerita untuk menutupi malu. Tapi cerita karangannya justru
menjebaknya dalam situasi makin rumit akhirnya.
“Oh itu. Bisa bu.. nanti setelah
pembersihan rumah saya akan lihat apa penyebabnya ya.. mungkin ada
yang mengganggu ibu,” kata mbah Bromo.
Ritual dilanjutkan ke kamar mandi di
dalam kamar tidur utama. Di sini Irma jadi serba salah, karena ia
harus berada pada posisi seperti biasanya. Tapi kegundahan Irma
terobati setelah mbah Bromo mengatakan tak harus telanjang, tetapi
cukup dengan melilit handuk di tubuhnya.
Irma berdiri di bawah shower dengan
handuk biru melilit tubuhnya dan kedua tangan memegangi baskom air
bunga. Mbah Bromo kemudian mengaktifkan shower sehingga tubuh Irma
kuyub tersiram bersama handuk yang dipakainya.
Mbah Bromo mulai memejam mata dan merapal mantra-mantra, kemudian mulai memercik air ke sudut-sudut kamar mandi.
Belum lagi usai prosesi di kamar mandi
itu, tiba-tiba lilitan handuk di tubuh Irma melonggar karena siraman
shower. Irma panik dan berusaha menahan agar handuk tidak melorot,
tapi terlambat, ujung handuk kanterjuntai ke bawah membuat hanya
bagian kiri tubuh Irma yang tertutup.
Astaga, bagaimana ini, pikir Irma tak
karuan. Tubuhnya telanjang bulat di bagian kanan, tepat di hadapan
mbah Bromo. Bagaimana kalau mbah Bromo tidak lagi terpejam? Pasti
semua kebugilannya terlihat jelas.
Masih dalam kepanikan Irma, mbah Bromo tiba-tiba mengamit ujung handuk yang luruh, kemudian membantu melilitkan di tubuh Irma.
“Maaf bu Irma.. saya bantu
membenarkannya ya,” katanya, sementara Irma tak bisa bersuara. Mbah
Bromo kemudian melanjutkan prosesi ritualnya.
Irma kembali didera beragam pertanyaan
dan perasaan aneh tentang mbah Bromo. Saat membenahi handuk di tubuh
Irma, jemari mbah Bromo sempat menyusup dan menyentuh kulit mulus di
pangkal payudaranya. Ada desiran aneh menjalari Irma saat kulit kasar
mbah Bromo menggesek pangkal payudaranya. Desiran yang selama ini
mulai jarang dirasakan bersama Hendarto, suaminya.
“Sekarang prosesi sudah selesai bu. Apa ibu jadi mau menyelesaikan masalah mimpi buruknya?,” suara mbah Bromo mengejutkan Irma.
“Bu Irma bisa pakai daster lagi.. dan
saya akan merowah ibu,” kata mbah Bromo sambil keluar kamar mandi ke
kamar tidur, sementara Irma kembali mengenakan daster tipisnya.
Mbah Bromo meminta Irma berbaring di
ranjang, Irma menurut dengan hati berdebar-debar tak karuan. Dengan
posisi duduk di sisi ranjang, mbah Bromo meletakkan telapak tangan
kanannya di dahi Irma sambil merapal mantra. Irma mengamati mbah Bromo
yang terpejam berkomat-kamit. Wajah mbah Bromo masih meninggalkan
gurat-gurat ketampanan, semakin terkesan jantan dengan tukang rahang
yang menonjol.
“Ehm.. apa kira-kira penyebab
mimpi-mimpi itu mbah,” Irma beranikan diri bertanya. Mbah Bromo
membuka mata dan menatap mata Irma membuat Irma salah tingkah.
“Hmm.. maaf bu Irma. Sepertinya ada
yang berusaha mengguna-gunai ibu, dan sudah masuk sebagian merasuk ke
aliran darah ibu. Mungkin saingan bisnis pak Hendarto yang sudah
kewalahan tak bisa menembus pak Hen kemudian menyasar ibu,” jawab mbah
Bromo.
Irma jadi takut. Bukankah soal mimpi
buruk itu hanya karangannya? Tapi soal guna-guna, jangan-jangan memang
benar sudah merasuk di tubuhnya.
“Apa berbahaya mbah?,” tanya Irma ketakutan.
“Kalau tidak segera dibersihkan bisa
bahaya bu. Kalau tidak kuat ibu bisa hilang akal sehat, bisa gila.
Tapi untung cepat terdeteksi,” kata mbah Bromo.
Mbah Bromo kemudian menjelaskan bahwa
untuk mengusir guna-guna dan membersihkan yang sudah terlanjur merasuk
ke dalam aliran darah, maka Irma harus menjalani ritual pembersihan
seperti ritual pembersihan rumah. Caranya dengan dimandikan air
kembang tujuh rupa oleh mbah Bromo.
Mbah Bromo meminta Irma tetap berbaring, sementara ia mengambil baskom air kembang sisa prosesi tadi di kamar mandi.
Setelah kembali duduk di sisi ranjang,
mbah Bromo mulai merapal mantra dan memercikkan air kembang ke
sekujur tubuh Irma, mulai kepala sampai kaki.
“Maaf bu, mungkin sedikit risih.. tapi
jangan dirasakan ya, karena perlawanan bisa menggagalkan ritualnya,”
kata mbah Bromo. Belum sempat Irma menjawab, telapak tangan mbah Bromo
mulai menelusuri tubuh Irma seolah mengolesi dengan air kembang.
Irma tak punya pilihan. Ketakutannya
mengalahkan akal sehatnya, dan ia menuruti apa saja perkataan mbah
Bromo. Ia merasakan tangan mbah Bromo mengusap-usap lehernya lalu
turun ke dada. Usapan berlanjut ke dua payudara Irma membuat Irma
merasakan desiran aneh luar biasa.
Daster tipis tanpa bra membuat telapak
tangan mbah Bromo sangat terasa menyentuh dan mengusapi putting susu
Irma. Irma memejamkan mata dan berhayal yang sedang mengelus tubuhnya
adalah Hendarto suaminya. Maksud Irma adalah untuk menghilangkan risih
yang sedang melanda dirinya. Lagipula, bukankah mbah Bromo impoten?
Begitu pikirnya.
Tapi niat Irma justru menyeretnya ke
posisi yang lebih sulit. Dengan membayangkan suaminya yang sedang
mengusap tubuhnya, libido Irma malah terpacu dan gairah seksnya
meninggi.
Irma merasakan tangan mbah Bromo mulai
menjalar ke kakinya. Sentuhan nikmat mulai dirasakan Irma di bagian
pahanya, tanpa disadari tangan mbah Bromo terus menelusup bagian bawah
daster, dan mulai mengusapi kulit paha Irma.
“Aahh.. mas Hen..,” Irma mendesis
mencoba membendung gairahnya, pikirannya semakin tertuju pada Hendarto
yang sedang menjelajahi tubuhnya.
Mbah Bromo menangkap libido Irma yang
mulai meningkat, ia kemudian memberanikan diri mengusapi pangkal paha
Irma dan sesekali tangannya menyetuh bibir vagina Irma yang tidak
terbungkus CD. Irma menggelinjang dan mulai melebarkan kakinya
memberikan ruang lebih luas bagi sentuhan mbah Bromo.
Daster bagian bawah sudah tergulung
sampai ke perut Irma, paha mulus dan rambut tipis di vagina Irma
terpampang jelas di hadapan mbah Bromo. Mbah Bromo ingin sekali
mengusapi vagina Irma, bagaimana pun ia lelaki normal dan masih bisa
ereksi di usia tuanya. Pengakuan impoten dilakukan mbah Bromo
sebenarnya hanya agar kliennya merasa nyaman saat ritual dilakukan.
Tapi mbah Bromo tak berani melangkah lebih jauh karena takut
dilaporkan ke Hendarto, sebab selama dua tahun ini Hendarto sudah
menjamin perekonomian keluarganya bahkan sampai ia mampu mengkuliahkan
anaknya.
“Ehmm.. maaf bu Irma..,” suara mbah Bromo menyadarkan Irma.
“Oh.. eh.. iya mbah. Sudah
selesaikah?,” Irma terkejut membuka mata, gelagapan bercampur malu
menyadari dirinya bugil di bagian bawah, dan segera membenahi letak
dasternya. Nafas Irma sedikit berat desiran kenikmatan masih tersisa
padanya.
“Belum bu, guna-gunanya cukup kuat dan sudah merasuk jauh ke aliran darah bu Irma,” mbah Bromo kini yang mulai mengarang cerita.
“Daster ini menyulitkan saya melakukan
ritual.. karena sebetulnya harus kulit tubuh bu Irma yang langsung
dibaluri air kembang,” katanya tanpa menunggu reaksi Irma.
Rasa takut gila karena guna-guna
ditambah desir kenikmatan yang terlanjur ia rasa akibat sentuhan
jemari mbah Bromo membuat Irma sama sekali berada di bawah konrol mbah
Bromo. Ia menuruti perkataan mbah Bromo untuk menanggalkan dasternya,
dan untuk tidak bercerita pada Hendarto suaminya tentang ritual
mereka.
“Silahkan mbah.. dilanjutkan
ritualnya. Yang penting saya sembuh mbah,” kata Irma yang sudah
kembali berbaring dalam keadaan telanjang.
Mbah Bromo terbelalak tak percaya,
betapa tubuh mulus istri Hendarto terpampang telanjang di hadapannya
menunggu disentuh dan dijelajahi olehnya.
Dengan sikap serius seolah ritual
sesungguhnya, mbah Bromo kembali komat-kamit dan mulai menyentuh Irma.
Air kembang dipercikkan lalu tangan mbah Bromo menelusuri payudara
Irma, sebentar kemudian ke perut, tetapi kemudian kembali lagi ke
payudara.
Irma memejam dan menggelinjang
merasakan sentuhan langsung telapak tangan kasar mbah Bromo di kulit
mulusnya. Tangan kiri mbah Bromo mulai meremasi payudara Irma
bergantian, sebelah kanan dan kiri, sementara tangan kanannya
menelusur ke bawah mengusapi paha dan selangkangan Irma.
Nafas Irma semakin berat saat
merasakan sentuhan mbah Bromo mulai menjelajahi di bagian vitalnya.
Irma ingin melawan dan menolak, tetapi rasa takut akan guna-guna dan
kenikmatan yang sedang melanda mengalahkan perasaan risihnya. Ia
memutuskan untuk kembali membayangkan bahwa suaminya yang sedang
menjelajahi tubuhnya.
Mbah Bromo mengangkangkan kedua kaki
Irma membuat vagina Irma semakin jelas terlihat. Perlahan ia
memberanikan diri membelai lebih intens permukaan vagina Irma, ia
merasakan cairan vagina Irma mulai merembes keluar membuat
permukaannya semakin licin berlendir.
“Ahhhsss..,” Irma mendesis tak kuasa
menahan kenikmatan sentuhan-sentuhan di tubuhnya. Ia merasakan sesuatu
menguak bibir vaginanya dan saat yang sama putting susunya terasa
dipilin-pilin, diremas-remas.
Di saat libidonya semakin tak
terbendung, Irma merasakan sesuatu yang hangat menyapu-nyapu bibir
vaginanya. Benda lunak bertekstur kasar itu mulai menyapu vaginanya
secara rutin berirama.
“Ouhh.. ahhss. Mbah, kenapa
digituin?,” Irma terperanjat saat menyadari kini kepala mbah Bromo
seolah tenggelam diselangkangannya. Rupanya benda hangat yang nikmat
menyapu vaginanya adalah lidah mbah Bromo yang menjilatinya.
“Eh.. oh.. maaf bu Irma, ini harus
saya lakukan untuk menyedot guna-gunanya. Ini sudah hampir selesai.
Tapi kalau ibu keberatan.. saya minta maaf bu Irma,” mbah Bromo nampak
khawatir Irma marah dan melaporkannya pada Hendarto.
Tapi ternyata Irma tidak marah. Ia
malah kembali memejamkan mata dan melebarkan dua kakinya memberi
isyarat pada mbah Bromo untuk melanjutkan jilatan-jilatannya.
Benak Irma berhenti membayangkan
Hendarto suaminya, sebab selama menikah hingga punya dua anak, sekali
pun tak pernah Hendarto menjilati vagina Irma. Padahal dari film-fim
porno yang mereka nikmati bersama selama ini, Irma ingin sekali
merasakan bagaimana jika vaginanya disentuh dengan lidah, dijilati dan
dihisap.
“Ahhk.. mbah..,” Irma mulai terbawa
gairahnya. Mbah Bromo, lelaki tua yang baru dikenalnya ternyata tidak
jijik menjilati vitalnya, tidak seperti suaminya yang merasa jijik
kalau harus menjilati vagina Irma.
Tanpa disadari tangan Irma mulai
meraih rambut mbah Bromo di selangkangannya dan berusaha menekan agar
jilatan di vaginanya lebih terasa.
Kumis dan jenggot mbah Bromo yang
kasar menambah rasa geli di vagina Irma. Lidah mbah Bromo semakin
leluasa menjelajahi gundukan vagina Irma yang sudah sangat basah
berlendir. Rintihan Irma semakin keras dan sering terdengar.
Mbah Bromo turut terpacu libidonya,
sambil terus menjilat dan menghisap bibir vagina Irma, tangganya mulai
memelorotkan celana kolor hitamnya. Penisnya mengacung tegang
kemudian dikocok-kocok dengan tangan kirinya, sambil membayangkan ia
sedang menyetubuhi Irma.
Irma mulai merasakan sensasi disekitar
vaginanya, seperti ada hawa panas menjalar di pangkal pahanya. Hawa
panas itu terus mendesak dan berkumpul dipusat klitorisnya, semakin
lama semakin mendesak setiap kali jilatan mbah Bromo menerpa.
Kedutan-kedutan mulai ia rasakan di vaginanya. Tangannya semakin
meremas kencang rambut mbah Bromo. Sementara pinggulnya tergetar hebat
seperti hendak menguyak kepala mbah Bromo di jepitan pahanya.
“Ouhh.. mbaahhhh… akkkssshhh…,” Irma
setengah menjarit ketika kumpulan hawa panas itu meledak mencapai
orgasmenya. Di saat bersamaan kocokan tangan mbah Bromo membuat
penisnya terasa hendak meledak menyeburkan sperma kenikmatan.
Tangannya segera menyembar daster Irma yang luruh di ranjang, lalu
menghadang semburan spermanya menggunakan daster Irma.
Irma lunglai tak bertenaga, masih
terpejam menikmati sisa-sisa orgasmenya. Mbah Bromo duduk di sisi
ranjang kembali menyaksikan wajah cantik Irma setelah orgasmenya.
“Sudah tuntas bu Irma.. sudah keluar
semuanya,” kata mbah Bromo. Irma tak mampu bicara, ia merasa lemas
bercampur malu menyadari lelaki lain sudah melihat tubuhnya. Ia lalu
duduk dan mengamit selimut untuk menutupi tubuh bugilnya, bersandar di
kepala ranjang.
“Bagaimana rasanya bu Irma?,” tanya mbah Bromo.
“Hmm.. nikmat mbah..,” jawab Irma tanpa sadar.
“Maksud bu Irma?,” mbah Bromo seolah memancing.
“Oh.. eh.. anu.. maksud saya. Maksud saya sudah agak ringan sekarang, mungkin karena guna-gunanya sudah keluar,” kata Irma malu.
Tiba-tiba pikiran Irma kembali tertuju
pada fisik mbah Bromo. Apa benar si mbah tidak ereksi penisnya saat
memperlakukannya seperti tadi.
“Mbah.. maaf ya kalau saya tanya. Apa
tadi mbah tidak merasakan gairah seks? Waktu menghisap guna-guna dari
tubuh saya tadi?. Apa anu mbah tidak tegang?,” ia beranikan bertanya
untuk menjewab penasarannya.
“Kan mbah sudah bilang.. mbah impoten
bu Irma. Ibu mau lihat?,” mbah Bromo langsung berdiri tanpa menunggu
jawaban Irma, ia langsung melorotkan celana hitamnya tanpa CD.
Penis mbah Bromo menggelantung keluar, nampak lagi tanpa ketegangan sebab klimaksnya sudah sampai dengan onani tadi.
Irma terbelalak memperhatikan bentuk
penis mbah Bromo. Dalam kondisi tidur penisnya itu tetap besart, lebih
besar dari milik Hendarto. Pikirannya kembali tak karuan, bagaimana
besarnya kalau penis hitam mbah Bromo itu tegang?.
“Ndak sebesar punya pak Hen ya bu?,” tanya mbah Bromo.
“Eh.. hmm.. hampir sama kok,” jawab Irma. Ia malu mengakui penis Hendarto tergolong kecil, apalagi dibanding penis mbah Bromo.
Tapi mbah Bromo sudah tahu kalau penis
Hendarto ukuran mini. Sebab selama ritual pembersihan rumah
sebelumnya, mbah Bromo sudah melihat penis Hendarto ketika pembersihan
tanpa busana di kamar mandi. Hendarto bertubuh tambun dengan perut
membuncit. Penisnya pun tidak bertahan lama kalau bersetubuh dengan
Irma.
“Ya sudahlah bu Irma, mbah pamit
pulang ya. Ndak enak kalau pak Hen datang, nanti jadi salah paham
melihat kita berdua di kamar ini dalam kondisi begini,” mbah Bromo
merapikan celananya dan bersiap keluar kamar. Irma ikut bangkit dengan
melilit selimut menutupi tubuhnya.
“Sebentar mbah.. ini ada sesuatu dari
saya untuk istri dan anak mbah di rumah,” Irma mengeluarkan beberapa
lembar uang dari lemari dan menyisipkannya di kantung baju hitam mbah
Bromo. Mbah Bromo tak menolak pemberian itu, anggap saja rejeki
tambahan.
“Hmmm mbah.. satu pertanyaan lagi boleh ya? Apa mbah sudah tidak pernah bersetubuh sama istri?,” kata Irma.
Cerita Seks Dewasa : Pemerkosaan Dukun Cabul
Reviewed by shinta dewi
on
November 10, 2017
Rating:
No comments: